Oleh: Rafli Maulana Husen
Dua hari sudah berlalu semenjak diselenggarakannya ziarah Nabi Hud as yang diadakan pada pertengahan bulan Syakban lalu, tepatnya pada tanggal 8,9,dan 10 Syakban. Ziarah ini merupakan salah satu ziarah terbesar di Hadhramaut dan menjadi momentum tahunan yang tidak ingin dilewatkan oleh siapapun, khususnya para penduduk Hadhramaut. Banyak dari para penziarah yang datang dengan memikul jutaan niat dan hajat dan pulang dengan cahaya dan hati yang siap menyambut bulan suci nan mulia. Namun tak sedikit pula yang pulang dengan shifrul aydi (tangan kosong) atau setidaknya hanya membawa kenangan saja.
Tim Mengabadikan Momen atau Menikmatinya
Mengabadikan momen, apapun itu, merupakan hal yang penting dan bermanfaat. Dengannya kita bisa mengingat kembali masa lalu yang telah terkubur ditimbun waktu. Dengannya kita bisa memuseumkan memori yang mudah rapuh itu. Dengannya pula kita bisa bercumbu dan bernostalgia dengan kenangan-kenangan masa lampau tepat seperti apa yang kita rasakan saat momen itu diabadikan. Bahkan dengannya pula dakwah bisa tersalurkan ke seantero penjuru dunia.
Kendati demikian, yang menjadi masalah ialah ketika mengabadikan momen ini dijadikan tujuan utama dalam suatu peristiwa. Seakan-akan setiap momen yang dialaminya semua orang harus mengetahuinya. Terlebih lagi ketika momen itu merupakan momen yang sakral alias momen yang diagungi oleh syariat, seperti ziarah, atau pertemuan dengan para masyaikh dan habaib. Karena di samping itu, ada hal yang lebih penting dan berharga daripada mengabadikan momen, yaitu menikmatinya.
Di zaman yang penuh dengan media, di zaman dimana semua orang secara tidak langsung ‘dituntut’ untuk memberitahukan apa yang terjadi menjadikan kita lupa untuk menikmati setiap detik yang berlalu di dalam hidup kita. Apalagi Gen Z sangat menyenangi like dan respon orang lain terhadap dirinya yang menjadikan hal tersebut ‘tujuan eksternal yang tak disadari’ olehnya. Seakan-akan kita diajak lomba lari. Semua ingin menjadi pemenang pada lomba ini. Siapa yang fotonya paling bagus, siapa yang captionnya paling ngena, siapa yang dapet angel nya paling pas dan lain sebagainya. Itu semua telah menjadi kebiasaan kita di setiap momen yang terjadi dalam hidup kita. Lebih parahnya lagi, bahkan ketika sedang berhadapan dengan Sang Pencipta, kita malah disibukan oleh suara-suara sumbang seperti:
“Duh, caption apa ya yang bagus puat postigan nanti”
“Hmm.. Pokoknya ane harus dapat foto sama Habib Fulan”
“Duh harusnya tadi ane foto pas ketemu sama fulan” dan lain sebagainya.
Letakkanlah ponsel kita sejenak, lupakanlah social media kita sementara waktu. Biarkanlah mata ini memandang indahnya wajah mereka para salihin. Biarkanlah hati ini terlarut menikmati keindahan tersebut. Biarkanlah otak kita menafsirkan segala makna yang ditangkapnya. Biarkanlah memori mencatat setiap detik momen berharga dalam kehidupan kita. Abaikanlah siapapun yang disetikar kita. Saat itu juga di dunia hanya ada kita dan apa yang kedua mata ini pandang. Biarkanlah mereka para profesional yang mengabadikan momen. Lensa mereka lebih tajam. Kamera mereka lebih besar, toh memang mereka ditugaskan untuk itu. Maka apalah arti smartphone kita dihadapan kamera mereka, bagaikan langit dan bumi.
Tentu saja tulisan ini tidak menafikan, apalagi melarang untuk mengabadikan momen. Sebagaimana penulis sindir di atas, mengabadikan momen merupakan hal yang tak kalah penting. Apalagi untuk mengabari ibu di rumah yang terdakang rewel bercampur rindu ingin melihat anaknya yang sedang menimba ilmu di negeri para wali itu. Jikalau memang itu tujuannya, maka satu atau dua foto pun sudah cukup untuk membenamkan rasa tenang dan puas dalam hati ibu di rumah. Namun jika tujuannya selain itu, maka hal itulah yang mungkin perlu kita kurangi. Karena sejatinya menikmati momen tidak akan bisa diulang kembali, walaupun kita telah mengabadikanya. Nikmatilah setiap detik dalam hidupmu dan abadikanlah momen seperlunya!
Wallahu A’lam.
Terus dukung dan ikuti perkembangan kami lewat akun media sosial PPI Yaman di;
Instagram: @ppiyaman
Facebook: PPI YAMAN
Youtube: PPI Yaman
Website: ppiyaman.org
0 Komentar